Oleh : Prisa Apri van Ga, S. Hut
“Pada
bulan Januari 1706, dua orang serdadu Belanda bernama Creatiaun dan Van Houten
mendapat tugas dari keresidenan setempat untuk mengunjungi, menyelidiki dan
mencari belerang murni di G. Papandayan dan G. Patuha. Pada waktu itu G.
Papandayan masih ada dalam ketinggian penuh” (Kusumadinata, 1970).
Jauh sebelum orang-orang Belanda menemukan gunung ini,
masyarakat setempat telah sering melintasi G. Papandayan untuk membawa
tembakau, garam, sayuran dan hasil-hasil bumi lainnya. Jalur ini merupakan
jalan terdekat yang menghubungkan dataran tinggi Pengalengan Bandung dengan
lembah Garut.
Nama Papandayan, berasal dari bahasa sunda “Panday”
yang berarti pandai besi. Dahulu, ketika masyarakat melintasi gunung ini,
sering terdengar suara-suara yang mirip keadaan ditempat kerja pandai besi,
suara itu berasal dari kawah yang sangat aktif. Demikianlah gunung ini kemudian
dinamakan Papandayan oleh masyarakat disekitar gunung ini.
Gunung Papandayan terletak di sekitar 25 Km sebelah
barat daya Kabupaten Garut, dengan posisi geografis 70 19' Lintang Selatan dan 1070 44' Bujur Timur
dengan ketinggian 2665 Mdpl atau sekitar 1950 M diatas dataran Garut. Disebelah
selatan gunung ini terdapat G. Guntur dan disebelah timurnya terdapat G.
Cikuray.
G. Papandayan merupakan kerucut paling selatan dari
deretan gunung api di priangan selatan yang telah diklasifikasikan (sejak zaman
penjajahan Belanda) sebagai gunung aktif yang cukup berbahaya di Jawa Barat.
Letusan-letusan yang terjadi sejak dahulu kala membuat wujud gunung ini seperti
potongan tapal kuda. Kawah tertuanya terletak di Tegal Alun-alun yang telah
lama mati dan berubah menjadi padang terbuka. Dinding kawah tua ini membentuk
kompleks pegunungan dengan puncak-puncaknya yaitu G. Malang (2675 Mdpl), G.
Masigit (2619 Mdpl), G. Saroni (2611 Mdpl) dan G. Papandayan (2665 Mdpl) yang
mengelilingi Tegal Alun-alun. Di padang inilah muncul mata air yang menjelma
menjadi Sungai Ciparugpug.
Disekitar areal tapal kuda ini, kita juga dapat
melihat gunung-gunung kecil yang mengelilingi G. Papandayan, antara lain G.
Puntang (2555 Mdpl), G. Walirang (2238 Mdpl), G. Tegal Paku (2225 Mdpl) dan G.
Jaya (2422 Mdpl). Sementara dilembah diantara G. Puntang dan G. Walirang
terdapat sungai Cibeureum Gede yang mengalir ke Sungai Cimanuk.
Dalam catatan sejarah, letusan besar pernah terjadi di
G. Papandayan pada 11 – 12 Agustus 1772. letusan besar ini menyebabkan
kehancuran pada sebagian tubuh gunung ini, membentuk kawah tapal kuda membuka
kearah timur laut.
“Dengan suara menggelegar dan gemeratak yang hebat,
setelah tengah malam mendadak tampak membumbung keatas sinar-sinar terang, yang
menerangi kegelapan, memecah-mecah puncak gunung, melemparkan dan menyebar
bongkah-bongkahnya kesekitarnya”. Demikian catatan F.W. Junghuhn, seorang penjelajah
gunung berkebangsaan Jerman tentang meletusnya G. Papandayan pada 11 Agustus
1772.
Inilah letusan terdahsyat G. Papandayan yang tercatat
dalam sejarah. Selain menghancurkan sebagian tubuhnya, letusan ini juga
menghancurkan 40 perkampungan didataran tinggi garut, memakan korban jiwa
kurang lebih 2957 orang dan membunuh lebih dari 1500 ekor sapi, kerbau,
kambing, dan binatang-binatang peliharaan lainnya.
Pada tahun 1819, pendiri kebun raya Bogor, C.G.C
Reindwardt yang berkebangsaan Jerman menjadi orang-orang asing pertama yang
mendaki gunung ini. Pada masa-masa inilah, G. Papandayan menjadi surga bagi
para ahli gunung berapi dan tumbuh-tumbuhan hingga sekarang.
Menurut pendapat R.D.M. Verbeek dan R. Fennema,
letusan G. Papandayan pada tahun 1772 berlangsung seperti halnya yang terjadi
di G. Semeru di Jawa Timur pada tahun 1885, tetapi lebih kuat. Pada waktu
terjadinya letusan ini terlihat muntahan api selama 5 menit yang berasal dari
kawah Papandayan (kawah Mas), disusul dengan lawina batu-batu yang menghancurkan
daerah yang lebih rendah. Peristiwa turunnya lawina batu-batu tersebutlah yang
merupakan pokok dari kejadian letusan G. Papandayan pada tahun 1772.
Setelah itu, gunung ini mengalami masa tenang kembali
sampai 11 Maret 1923 saat kawah Papandayan (kawah Mas) mulai bergejolak kembali
hingga 9 Maret 1925. Selama 2 tahun, letusan kecil tidak membahayakan sering
terjadi di gunung ini.
Letusan yang terjadi pada 11 Maret 1923 ini tercatat
berasal dari kawah yang terdapat di Tegal Alun-alun, yakni berupa letusan
lumpur dan batu-batuan sebesar kepala orang yang terlontar hingga kurang lebih
150 M.
Menurut keterangan Camat dan penduduk Cisurupan,
letusan pada tanggal 11 Maret 1923 ini terjadi pada malam hari dengan didahului
oleh gempa bumi ringan. Dari kejadian letusan ini, lapangan letusan baru telah
ditemukan dan dinamakan kawah Baru. Dalam lapangan letusan seluas 100 M
tersebut, 7 buah lubang letusan ditemukan dan sebuah danau kecil telah
terbentuk.
Bersamaan dengan pembentukan kawah baru diatas, pada
bulan Juni 1923, di kaki G. Nangklak (sebuah dinding curam sebelah selatan
kawah Mas) telah terbentuk juga sebuah kawah baru yang diberi nama kawah
Nangklak dengan 3 buah lubang letusan didalamnya.
Sepanjang tahun 1924 hingga 1925, letusan-letusan kecil
terjadi secara bergantian di masing-masing kawah yang berbeda hingga gunung
inipun akhirnya memasuki masa istirahat yang cukup panjang sampai letusan besar
terjadi kembali pada 11 November 2002.
Pada hari senin, 11 November 2002 pukul 15.30, G.
Papandayan memulai kembali kegiatannya setelah hampir 60 tahun menjalani masa
istirahatnya.
Letusan pada tahun 2002 ini didahului oleh letusan
freatik kecil pada tanggal 1 – 3 Oktober 2002 yang terjadi di kawah Mas yang
menyebabkan meningkatnya kegiatan gunung ini. Temperatur di kawah Mas mengalami
peningkatan dan sempat membakar endapan belerang yang terdapat didalamnya.
Pada tanggal 10 November 2002, Pos Pengamatan Gunung
Api Papandayan mencatat peningkatan signifikan jumlah Gempa Vulkanik tipe B
sebanyak 60 kali. Gempa ini menandai sistem rekahan dan tanah di kawasan kawah
Mas menjadi jenuh dengan uap air dan tekanan, sekaligus mengaktifkan sistem uap
di kawah Mas menuju ke letusan freatik selanjutnya.
Pada tanggal 11 November 2002, letusan freatik pertama
terjadi di kawah Baru pada pukul 16.03 WIB, yakni berupa semburan debu pekat ke
udara yang mencapai ketinggian 5 Km dari atas puncaknya. Letusan di kawah Baru
ini menyebabkan terjadinya longsor dahsyat disebagian dinding bukit Nangklak,
material longsoran tersebut jatuh ke hulu Sungai Cibeureum Gede dan
mengakibatkan banjir bandang lumpur sepanjang Sungai Cibeureum Gede di Kec.
Bayongbong. Tercatat 5 rumah rusak berat dan jalan antara Garut dengan Cikajang
terputus.
Letusan tahun 2002 juga telah mengubah wajah lembah
tapal kuda G. Papandayan, material yang ditumpahkan telah menimbun dasar lembah
dan mengubur aliran Sungai Ciparugpug. Sementara G. Nangklak mengalami longsor
dahsyat bersamaan dengan terbentuknya beberapa kawah baru.
Beberapa kejadian diatas dalam sejarah letusan gunung
inilah yang membawa G. Papandayan menjadi sebuah lokasi penting bagi para
penikmatnya dari sejak dahulu kala hingga sekarang.
Saat ini G. papandayan merupakan salah satu gunung api
aktif di Jawa Barat yang telah dikembangkan menjadi objek wisata panorama dan
tempat tujuan bagi para peneliti gunung api di mancanegara.
Objek-objek wisata mempesona yang terdapat di gunung
ini terbentuk secara alamiah dari proses vulkanisma yang telah berlangsung di
masa lampau. Aktivitas yang terjadi selama beratus-ratus tahun ini, telah
menghasilkan dan meninggalkan bentuk-bentuk alam yang khas berupa kerucut
gunung api, kawah, singkapan bebatuan dan terbentuknya struktur-struktur baru
berupa curug (air terjun), danau, mata air panas, lubang semburan uap panas
dari dalam tanah, kolam-kolam mendidih dan endapan belerang berwarna kuning
yang menyatu dengan bentang alam yang di penuhi batuan berserakan dan
dataran-dataran terbuka yang diselimuti rerumputan dan tumbuhan edelweis yang
indah atau hutan-hutan tua berbalut lumut yang menakjubkan.
Keunikan-keunikan inilah yang membedakan keindahan G.
Papandayan dengan gunung api-gunung api lainnya di Indonesia.
Keanekaragaman Hayati
G. Papandayan telah menjadi cagar alam sejak tahun
1924. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda menetapkan kawasan hutan dan kawah
Papandayan seluas 884 Ha menjadi cagar alam. Saat ini total luas cagar alam
telah bertambah menjadi 6807 Ha ditambah taman wisata alam seluas 225 Ha.
Penambahan luas cagar alam dan taman wisata alam ini ditetapkan melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 226/kpts/1990 tanggal 8-5-1990. Wilayahnya
meliputi G. Papandayan, G. Puntang, G. Jaya, G. Kendang, Tegal Panjang dan
kawah Darajat. Dengan statusnya sebagai cagar alam berarti G. Papandayan beserta
keanekaragaman hayati didalamnya dilindungi oleh negara Republik Indonesia.
G. Papandayan memiliki hutan alami yang hening, hutan
alami ini dapat kita jumpai pada ketinggian 1900 – 2675 Mdpl. Para ahli
tumbuhan menggolongkan hutan pada ketinggian ini sebagai hutan pegunungan atas
dan sub-alpin. Penelitian tumbuhan pada tahun 2004 didaerah antara Pondok
Saladah sampai Tegal panjang mengungkapkan kondisi hutan sebagai berikut.
Pada daerah kawah, kita dapat menjumpai tumbuhan semak
yang tahan terhadap gas beracun seperti suwagi, rumput kawah dan paku kawah.
Semakin menjauh dari kawah, tumbuhan semak menjadi lebih beraneka ragam lagi.
Selain suwagi, pohon segel, ramo gencel, huru koneng, semak harendong,
edelweiss, rumput kawah, paku andam, tumbuhan rambat gandapura dan bungburn
dapat kita jumpai didaerah ini.
Semakin ke tepian jalan, kita akan menemui pohon ki
haruman yang dahannya dipenuhi benjolan mendomonasi pemandangan. Ke utara di
belakang daerah bekas pesanggrahan Hoogbert hut, kondisi hutan mulai berubah
karena pengaruh kawah yang mulai berkurang. Hutan disini dipenuhi oleh
pohon-pohon berdiameter sedang yang rapat dengan lantai hutan namun jarang
ditumbuhi semak, kita dapat menjumpai pohon kendung, anggrit, huru batu dan
huru sintok. Selain itu, tumbuhan paku bagedor juga dapat kita jumpai bersama
rumput carex dan semak teklan.
Mulai dari Cisupabeureum (2126 Mdpl), dikaki G.
Puntang sampai Tegal Panjang, pohon-pohon berdiameter besar yang diselimuti
oleh lumut dengan lantai hutan rapat yang ditumbuhi oleh tumbuhan bubukuan
dapat kita jumpai disini. Pohon anggrit dan ki hujan sangat mendominasi pada
hutan ini, selain pohon salam anjing dan salam beurit. Dua jenis herba penutup
tanah yaitu Elatostema eurhynchum dan Elatostema rostratum mudah terlihat
disini bersama tumbuhan rambat arbei hutan.
Di Tegal Panjang, kita dapat menemukan 25 jenis
tumbuhan herba yang hidup bersama alang-alang. Beberapa diantaranya yang
menonjol adalah ki urat, antanan dan Scleria terestis. Tumbuhan endemic
Alchemilla villosa dan tumbuhan langka Primula imperalis dapat ditemukan pula
di padang ini.
Selain tumbuhan-tumbuhan diatas, kita juga dapat
menjumpai dan mengamati beberapa satwa liar yang hidup di hutan Papandayan ini,
seperti monyet surili, lutung, babi hutan, mencek dan macan tutul. Didaerah
pinggiran hutan dekat perkebunan kita akan menjumpai dengan mudah binatang
tando, sigung dan careh.
Menurut catatan dokumen kolonial Belanda, dahulu kala
masih dapat dijumpai banteng, rusa dan pelanduk yang terlihat merumput di Tegal
Panjang. Pemangsa berupa harimau jawa juga masih sering muncul. Tetapi sekarang
semuanya hanya tinggal kenangan saja, satwa-satwa tersebut telah punah.
Peneliti burung berkebangsaan Belanda bernama
Hoogerwerf pada tahun 1948 melaporkan terdapat 115 jenis burung yang hidup di
G. papandayan. Penelitian pada tahun 2004 pada sisi barat G. Papandayan, dari
Pondok Saladah sampai Tegal Panjang serta daerah perbatasan hutan dengan kebun
di Pengalengan telah ditemukan 73 jenis burung. Delapan jenis diantaranya
endemik pulau Jawa dan 15 jenis lainnya dilindungi oleh perundang-undangan.
Terdapat 2 jenis burung yang terancam kepunahan, yaitu elang jawa dan luntur
gunung serta 2 jenis burung lainnya yang mendekati dan terancam punah yaitu
wallet gunung dan cica matahari.
Disekitar dinding kawah, ditemukan burung pemangsa
dadali dan alap-alap capung. Sementara didaerah hutan yang didominasi oleh
tumbuhan suwagi disekitar kawah, mudah dijumpai burung kacamata, balecot,
tengtelok dan tikukur.
Di hutan selepas kawah hingga tegal Panjang, kita
dapat menjumpai sepah gunung, burung sapu, mungguk loreng, wergan dan kacamata
bersama dengan puyuh laga dan cincoang biru yang menghuni semak-semak. Burung
saeran, saeran kelabu dan walik kepala ungu juga sering terlihat di hutan ini.
Sedangkan luntur gunung dan luntur harimau butuh kecermatan untuk menjumpainya.
Sementara didaerah perbatasan hutan dengan kebun sayur
atau kebun teh dapat ditemukan burung pemangsa yang terancam kepunahan yaitu
elang jawa bersama dengan 2 pemangsa lainnya yaitu elang ruyuk dan elang hitam.
Burung saeran, wergan koneng, pijantung kecil dan kepudang sungu jawa juga
mudah ditemui didaerah ini. Sementara burung kandancra dan cica matahari
memerlukan kesabaran untuk dapat melihatnya. Di kebun teh itu sendiri merupakan
arena bermain dan habitat bagi dua jenis burung toed dan tektek reod.
Berdasarkan dari kebiasaan makannya, burung-burung di
G. Papandayan sebagian besar (64%) adalah pemakan serangga (insectivor).
Kondisi ini menunjukkan peranan burung yang besar dalam menjaga keseimbangan
populasi serangga yang terdapat di hutan Papandayan.
PANORAMA ALAM DAN WISATA GUNUNG API (VULKANOWISATA)
Gunung Papandayan selain dikenal banyak orang karena
panorama alam, keindahan kawah dan sunrisenya yang memikat, juga dikenal banyak
orang karena kondisi gunungnya yang dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan
bagi para pemerhati gunung api. Termasuk bagi para pelajar, mahasiswa dan
peneliti yang memerlukan data-data yang berkaitan dengan cabang ilmu
pengetahuan alam seperti ilmu kehutanan, geologi, vulkanologi, geofisika dan
lain-lain.
Hampir setiap bulannya, terutama pada bulan April
hingga bulan November, wisatawan lokal maupun mancanegara dan para pelajar
banyak yang mengunjungi gunung ini dengan keperluan yang berbeda-beda.
Gunung ini sendiri telah dilengkapi dengan beberapa
fasilitas yang memungkinkan wisatawan dan para peneliti untuk berkunjung
kesini. Lapangan parkir seluas lapangan bola. MCK, Mushola, warung-warung
makanan dan sekumpulan pemandu yang terlatih baik pengetahuan dan kemampuan
bahasa inggrisnya cukup dapat memanjakan dan membantu kita untuk lebih dalam
memahami isi gunung dan kekayaan hutan yang ada didalam G. papandayan.
Beberapa paket wisata juga dijajakan oleh para pemandu
disini untuk membantu kita mengungkap misteri akan gunung ini dan membawa kita
ke lokasi-lokasi terindah nan eksotik yang ada di G. Papandayan dan sekitarnya.
Beberapa lokasi yang biasanya dikunjungi oleh para
pendaki, wisatawan dan para peneliti adalah sebagai berikut.
Pondok Saladah
Pondok Saladah merupakan areal padang rumput seluas 8
Ha yang terdapat di ketinggian 2288 Mdpl. Banyak ditumbuhi tumbuhan edelweis
yang abadi dan tidak mudah layu serta memiliki aroma yang khas. Didaerah ini
mengalir Sungai Cisaladah yang airnya mengalir sepanjang tahun, tempat ini
biasanya dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan perkemahan. Sepanjang
perjalanaan dari tempat parkir (titik awal pendakian) menuju tempat ini kita
akan disuguhi panorama alam yang sangat indah, yakni pemandangan pembuka berupa
bentangan kaldera berbentuk tapal kuda yang sangat luas, yakni mencapai 3 Km
yang dihiasi oleh bebatuan berserakan yang berwarna-warni. Disebelah kanan
selama perjalanan kita akan menjumpai dinding batu berwarna perak bernama
tebing soni, dimana kota garut dapat terlihat dari puncak tebing ini, sementara
disebelah kirinya kita dapat melihat jejak dari daerah bekas aliran letusan
gunung pada tahun 2002, pohon-pohon yang hangus terbakar dan lubang-lubang yang
mengeluarkan uap panas dari dalam tanah. Tumbuhan suwagi juga menghiasi
pemandangan selama perjalanan menuju tempat ini.
Kawah Mas
Bagi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara,
para peneliti dan para pendaki, kawah Mas adalah lokasi yang selalu menjadi
tujuan utama dari semua perjalanan menuju gunung ini. Jika dibandingkan dengan
lokasi-lokasi objek wisata lainnya yang ada disekitar gunung ini, kawah Mas
merupakan lokasi yang sudah dibangun sedemikian rupa dan tampak lebih maju dan
berkembang. Hal ini dikarenakan kawah Mas merupakan pusat dan lokasi terpenting
dari rangkaian sejarah letusan G. Papandayan. Disini kita dapat mengamati
aktivitas gunung berapi Papandayan yang sedang berjalan sesuai waktunya, di
kawah ini terdapat 14 lubang letusan yang mengeluarkan asap dengan warna yang
berbeda-beda, beberapa mata air mengandung belerang juga terlihat keluar dari
sela-sela bebatuannya dan tentunya kita dapat mengamati aktivitas kawah Mas
dari jarak yang sangat dekat.
Kawah Mas merupakan kompleks gunung berapai yang masih
aktif seluas 10 Ha. Pada komplek ini terdapat lubang-lubang magma baik yang
besar maupun yang kecil, lubang-lubang tersebut mengeluarkan asap dan uap air
hingga menimbulkan berbagai macam suara yang unik.
Selain kawah diatas, beberapa kawah lainnya seperti
kawah Manuk, kawah Baru dan kawah Nangklak juga dapat kita kunjungi untuk
memperdalam pengamatan kita tentang aktivitas gunung api Papandayan.
Tegal Alun-Alun
Tegal Alun-Alun merupakan lokasi kawah tertua dari G.
Papandayan yang telah lama mati dan berubah menjadi padang terbuka yang semua
lokasinya hampir dipenuhi oleh tumbuhan edelweis, sehingga selama kita berada
di lokasi ini kita akan selalu mencium harumnya bunga edelweiss yang khas.
Lokasi ini menyerupai lembah yang dikelilingi oleh kompleks pegunungan dengan
puncak-puncaknya yang menjulang. Dilokasi ini juga muncul sumber mata air bagi
Sungai Ciparugpug disamping fumarola, solfatara dan sumber air panas yang
keluar melalui retakan atau celah bebatuan yang ada disekitarnya. Bagi para
peneliti, Tegal Alun-alun selalu dijadikan sebagai tempat untuk mengamati
satwa-satwa liar dan tumbuhan-tumbuhan endemik.
Selain diatas, Tegal Alun-Alun dan beberapa lokasi
lainnya seperti Lawang Angin dan Tebing Soni, juga merupakan lokasi yang dapat
dijadikan sebagai tempat untuk mengabadikan momen-momen penting lainnya seperti
pangambilan momen matahari terbit (Sunrise) yang sangat menakjubkan.
Lembah Maut (Lembah Ruslan)
Lembah Maut (lembah Ruslan) merupakan salah satu
lokasi yang dianggap berbahaya bagi pengunjung di gunung ini. Dilembah ini
banyak ditemukan bangkai binatang yang mati akibat terjebak gas beracun. Pada
tanggal 18 Desember 1924, diberitakan seorang mantri bernama Ruslan terjatuh ke
lembah ini dan tak sadarkan diri, beberapa saat kemudian mantri Ruslan
dinyatakan meninggal karena menghirup gas CL2. Setelah kejadian meninggalnya
mantri Ruslan, lembah ini dinyatakan berbahaya. Dan karenanya lembah ini
kemudian di kenal dan diberi nama dengan sebutan Lembah Maut atau Lembah
Ruslan.
Tebing Soni – Bandung, 28 Agustus – 4 September 2009.